Rabu, 14 Januari 2009

Ulama Arab Saudi Buat Fatwa Baru, Hadiah Bunga Buat Orang Sakit Hukumnya HARAM!



Ditulis oleh infosyiah di/pada 1, Maret 18, 2008 


Ulama Arab Saudi baru-baru ini mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam sedunia soal pengharaman pemberian hadiah bunga bagi orang sakit. Menurut laporan Shia Online mengutip Jahan, dalam fatwa itu disebutkan, “Melihat kondisi semakin banyak toko bunga di dekat rumah-rumah sakit dan pemberian hadiah bunga dari para penjenguk kepada yang sakit, Pusat Riset Ilmiah dan Kantor Pusat Fatwa Arab Saudi mengeluarkan fatwa pengharaman pemberian hadiah dengan bunga kepada orang sakit dan fatwa ini kepada seluruh umat Islam sedunia.” Kantor Pusat Fatwa Arab Saudi ini menjelaskan dalil pengharamannya sebagai berikut, mengingat pemberian hadiah lewat bunga merupakan budaya yang dilakukan kaum muslimin dengan meniru negara-negara Barat, oleh karenanya mengamalkannya menjadi tidak diperbolehkan dan haram. Pusat Fatwa ini menambahkan, selain pemberian hadiah dengan bunga adalah budaya negara-negara kafir, hadiah ini juga tidak bermanfaat bagi orang yang sakit, oleh karenanya, pemberian hadiah ini menjadi sia-sia. Ditambahkan pula, memanfaatkan harta kaum muslimin untuk hal yang sia-sia, seperti pemberian hadiah bunga kepada orang sakit merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Sebagai gantinya, mendoakan orang sakit agar lekas sembuh dan mengajarkan cara-cara pengobatan ilahi kepadanya. Sebagai tambahan, dalam peringatan hari valentin baru-baru lalu, ulama Arab Saudi juga mengharamkan pemberian hadiah bunga rose merah dan penjualannya pada hari itu dilarang.[infosyiah]

Cucu Kesayangan Rasulullah

Sayyid Hasan

Baca Juga Kisah Sebelumnya : Sayidina Hassan dan Sayidina Hussein Sayyidina Hassan adalah cucu Rasulullah SAW dari puteri bungsu baginda yang paling disayanginya yaitu Siti Fatimah Az Zahra dan menantunya Sayyidina Ali, yang juga merupakan Sahabatnya yang sangat disayangi baginda. Sayyidina Hassan lahir kira-kira sebulan sebelum Perang Uhud. Menurut ahli-ahli sejarah, tarikh lahirnya yang tepat ialah pada 15 Muharram. Namanya telah diberikan oleh baginda Rasulullah SAW sendiri. Nama ‘Hassan’ itu tidak pernah digunakan di Tanah Arab di zaman jahiliyah. Rasulullah SAW sangat gembira sekali dengan kelahiran Sayyidina Hassan. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Sayyidina Hassan adalah salah seorang penghuni Syurga dan seorang yang paling mirip wajahnya dengan baginda. Pernah baginda bersabda kepada Sayyidina Hassan sendiri: “Engkau menyerupai aku baik tentang bentuk rupamu maupun tentang akhlak.” Bahkan Sayyidina Ali sendiri pernah berkata: “Hassan menyerupai Rasulullah dari dada sampai ke kepala. Tetapi Hussin menyerupai Rasulullah di bahagian-bahagian lainnya, dari dada sampai ke bawah.” Pada suatu hari, Sayyidina Abu Bakar yang baru keluar dari masjid melihat Sayyidina Hassan yang masih kecil ketika itu. Sayyidina Abu Bakar segera mengejar mendapatkannya lalu memeluknya. “Demi Allah, rupa engkau mirip sekali dengan Rasulullah dan lain sekali dari ayahmu, Ali.” Mendengar kata-kata Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Hassan hanya tersenyum. Ayahnya, Sayyidina Ali yang berada di samping Sayyidina Abu Bakar, tertawa mendengar kata-katanya. Rasulullah sangat sayang sekali terhadap cucunya ini. Baginda senantiasa ingin bersama cucunya sekali pun ketika hendak solat. Bahkan kadang-kadang juga ketika menerima wahyu dari malaikat Jibril as. Di masa kanak-kanaknya. Rasulullah sendiri yang mendidik Sayyidina Hassan dan adiknya Sayyidina Hussin dengan budi pekerti yang mulia. Sayyidina Hassan memang terkenal sebagai seorang kanak-kanak yang cerdik. Tatkala umurnya 4 tahun, beliau sudah dapat menghafal kalimat-kalimat suci yang didengar dari kakeknya yang mulia. Ketika berumur 8 tahun, dia sudah menghafal hadith-hadith Rasulullah SAW. Ketika dewasa, Sayyidina Hassan menjadi seorang yang sangat dikenali dan dicintai oleh seluruh umat Islam ketika itu. Beliau seorang yang cantik serta elok rupanya ditambah dengan pribadinya yang mulia. Sayyidina Hassan adalah seorang yang berkulit putih kemerah-merahan. Biji matanya hitam dan besar. Mukanya berjambang, bertulang besar, pipinya halus, raut mukanya lembut serta berjanggut. Keadaan tubuhnya sedang dan cantik. Tidak tinggi dan tidak rendah. Sungguh Sayyidina Hassan adalah seorang yang cantik dan gagah. Siapa yang memandangnya akan tertarik padanya. Sayyidina Hassan adalah seorang yang sangat bertaqwa kepada Allah dan paling baik akhlaknya. Beliau seorang yang tenang, halus budi bahasa serta pandai bergaul dengan orang lain. Kebanyakan kaum Muslimin yang hidup di zamannya sangat sayang kepadanya. Beliau sangat merendah diri dan suka bergaul dengan orang-orang miskin. Kerapkali apabila melihat sekumpulan orang Islam sedang makan-makan, Sayyidina Hassan akan turun dari untanya untuk makan bersama mereka. Ada ketikanya beliau menjemput pula orang-orang yang kesusahan untuk datang ke rumahnya. Apabila mereka datang beramai-ramai, beliau akan menjamu mereka. Sayyidina Hassan suka mendapatkan ilmu-ilmu dari para Sahabat Rasulullah SAW yang ketika itu sudah tua umurnya. Beliau juga suka mengajar siapa saja yang suka mendengar ajaran-ajarannya. Karena taqwanya, menurut satu riwayat, ketika sedang mengambil wudhuk, mukanya tiba-tiba menjadi sangat pucat karena takut pada Allah. Demikian juga ketika beliau teringat soal mati. Ketika menceritakan tentang hari kebangkitan, beliau sering menangis terisak-isak. Sayyidina Hassan terkenal sebagai seorang dermawan. Waktu hidupnya, beliau digelar, “Karimu ahlil bait” yang ertinya keluarga Rasulullah SAW yang paling dermawan. Beliau tidak pernah menghampakan harapan orang lain. Sebagai seorang cucu baginda SAW, beliau adalah ibarat permata di zaman hidupnya karena memiliki budi pekerti yang mulia lagi terpuji. Sikapnya ramah, penyantun, rendah hati dan dermawan pula. Pada suatu hari sedang Sayidina Hasan r.a duduk di muka pintu rumahnya, tiba-tiba datang seorang Arab Badwi lalu mencacinya. Dia turut juga mencaci ayah serta ibu Sayidina Hasan r.a. Anehnya Sayidina Hasan r.a hanya mendengar saja akan segala maki hamun orang itu tanpa sedikit pun berubah air mukanya, atau membuat serang balas terhadap orang yang biadab itu. Kemudian ia berkata kepada Badwi itu: “Wahai Badwi, adakah engkau lapar dan dahaga? Atau adakah sesuatu yang merungsingkan hati engkau?” Tanpa mempedulikan kata-kata Sayidina Hasan r.a, Badwi itu terus memaki-makinya. Oleh itu Sayidina Hasan r.a pun menyuruh pelayan rumahnya supaya membawa kantung yang berisi uang perak lantas diberikannya kepada Badwi itu sambil berkata: “Wahai Badwi, maafkanlah saya karena inilah saja yang saya miliki. Jika ada yang lebih tidak akan saya sembunyikan darimu.” Sikap dan layanan Sayidina Hasan r.a yang mengejutkan itu akhirnya berhasil melembutkan hati Badwi tersebut. Tiba-tiba Badwi itu menangis terisak-isak lantas sujud di kaki Sayidina Hasan bin Ali r.a sambil berkata: “Wahai cucu baginda Rasul. Maafkanlah aku karena berlaku kasar terhadapmu. Sebenarnya aku sengaja berbuat begini untuk menguji kebaikan budi pekertimu sebagai cucu Rasulullah SAW yang sangat aku kasihi. Sekarang yakinlah aku bahwa engkau hai cucu Rasul, sesungguhnya mempunyai pekerti yang mulia sekali.” Demikianlah satu contoh keindahan budi yang tiada taranya. Sayidina Hasan r.a yang kena maki hamun itu bukan saja dapat bersabar terhadap segala cubaan itu bahkan membalasnya pula dengan sikapnya yang lembut serta pemurah pula. Semasa pemerintahan Khalifah Uthman ibnu Affan, Sayyidina Hassan telah sempurna menjadi seorang yang dewasa. Ketika itu beliau termasuk dalam golongan ulama yang terkemuka. Ketika timbul kekacauan semasa pemerintahan Khalifah Uthman, Sayyidina Ali menyuruh kedua puteranya supaya menjaga keselamatan Sayyidina Uthman di rumahnya. Ketika itu rumahnya sedang dikepung oleh pemberontak. Maka Sayyidina Hassan dan Hussin segera melaksanakan kehendak ayah mereka tetapi Khalifah Uthman meminta mereka pulang. Apabila Khalifah Uthman dibunuh, Sayyidina Ali sangat marah terhadap kedua puteranya karena tidak melindungi Khalifah Uthman walhal Khalifah sendiri menolak pertolongan mereka. Apabila Sayyidina Ali naik menjadi Khalifah maka kedua-dua puteranya berazam untuk membela serta melindungi ayah mereka tercinta. Apabila ayah mereka mati dibunuh pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijrah maka Sayyidina Hassan dan Hussin telah menuntut bela dan berjaya membunuh orang yang membunuh ayah mereka. Tidak lama kemudian, Sayyidina Hassan pula dilantik oleh kaum Muslimin menjadi Khalifah menggantikan ayahnya. Sebenarnya Sayyidina Hassan sendiri tidak suka menjadi khalifah. Ketika itu, ada di kalangan muslimin yang menginginkan Sayyidina Muawiyah bin Abu Sufian untuk naik sebagai khalifah. Maka timbullah perbedaan antara penyokong Sayyidina Hassan dan penyokong Sayyidina Muawiyah. Sayyidina Hassan suka akan perdamaian. Keadaan yang berpecah belah itu sangat tidak disukai olehnya. Khalifah Hassan sempat memerintah wilayah Iraq serta wilayah-wilayah di sekelilingnya seperti Khurasan, Hujaz dan Yaman selama 7 bulan. Tetapi semasa pemerintahannya, dunia Islam telah penuh kekacauan. Demi menyatu padukan umat Islam, maka Sayyidina Hassan sanggup menyerahkan jawatan khalifah kepada Sayyidina Muawiyah. “Aku sama sekali tidak ingin memerintah umat Muhammad jika dengan itu aku harus menumpahkan darah walau hanya secangkir.” Demikianlah kata-kata Sayyidina Hassan. Rasulullah SAW sendiri, sewaktu hidupnya telah mengetahui bahwa cucunya itu mempunyai akhlak yang terpuji, lemah-lembut dan memiliki hati yang halus. Sabda baginda: “Anakku ini adalah penghulu ( Sayyid ). Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dengan sebab Hassan, dua golongan kaum Muslimin yang sedang bermusuh-musuhan.” Sayyidina Hassan meninggal dunia setelah diracun. Kematiannya disaksikan dengan perasaan sedih oleh adiknya, Sayyidina Hussin yang sangat mengasihinya.

Pembentukan Hukum pada masa Rasulullah

PEMBENTUKAN HUKUM PADA MASA RAULULLAH SAW

A. Periode Mekah
Masa ini dimulai pada waktu pertama Islam datang, yaitu pada waktu pertamakali Sayyidina Muhammad diangkat menjadi Rasul oleh Allah dan turunnya wahyu. Periode ini berlangsung sekitar kurang lebih 12 tahun. Kehadiran Islam pada awal penyebarannya belum bisa diterima secara baik oleh masyarakat Mekah. Islam datang sebagai agama (hal) baru yang asing untuk diterima. Hal in dikarenakan keadaan masyarakat yang masih memegang tradisi dan ajaran yang ada pada saat itu sebagai warisan dari nenek moyang mereka yang mengajarkan animisme, dinamisme dan Polytheisme, sedangkan Islam adalah agama yang mengajarkan tentang Tauhid atau monotheisme yaitu beribadah hanya pada satu Tuhan.

B. Periode Madinah
Pada awalnya Nabi berorienatasi untuk memeperbaiki akidah masyarakat Mekah yang merupakan pondasi tempat berdirinya hal-hal lain. Hal ini bisa dilihat dari periode turunnya Al-Qur`an yang tebagi dua fase, Makky dan Madany. Pada periode Mekah isi kandung Al-Qur`an lebih menitikberatkan pada seruan untuk menjauhi kemusyrikan dan menyembah hanya pada Allah (Tuhan Yang Satu), memperkuat keyakinan Masyarakat Mekah terhadap kebenaran risalah Nabi, menganjurkan mereka membuang taklid terhadap ajaran nenek moyang mereka dan memalingkanya dari kebodohan yang datang dari leluhur mereka, seperti berzina, membunuh, mengubur anak wanita hidup-hidup. Begitu pula mengajarkan tatakrama dan akhlak Islam, seperti adil, tolong menolong dalam kebaikan. Dan mengingatkan mereka untuk tidak melakukan selisih dengan Nabi agar tidak ditimpa musibah seperti yang terjadi pada umat terdahulu yang mendustakan risalah Nabi dan menghianati perintah Tuhan. Pada masa ini Al-Qur`an hanya sedikit membebankan Syari`at, hingga kebanyakan ibadat belum terlalu disyari`atkan.
Namun pada awal periode inilah perkembangan hukum mulai mengalami kemajuan. Pada masa ini pula umat Islam tidak lagi seperti umat yang dulu disebut sebagai umat terbelakang dan Jahiliyah dan berperadaban rendah, umat Islam pada masa ini tidak lemah karena jumlahnya banyak dan berkualitas. Mereka juga mulai menjauhi segala bentuk kebiasaan yang dulu mereka biasa lakukan dan juga mulai menjauhi perselisihan dan permusuhan dalam rangka memperbaharui kehidupan dan peradaban mereka serta upaya untuk meyakinkan akan ke-Esa-an Allah. Selain itu mereka juga mulai membuat suatu aturan hidup bermasyarakat yang teratur dan berdasarkan tuntunan Rasulullah demi terciptanya kedamaian bermasyarakat dan terjauh dari peperangan.
Melihat keadaan demikia, Rasulullah mulai mensyari`atkan beberapa hukum, seperti, hukum perkawinan, Thalak, Waris, jual-beli, sewa, utang-piutang dan lainnya yang biasa dilakukan masyarakat pada masa itu.
Nabi, pada saat itu adalah sebagai pemegang kakuasaa langsung atau yang melegitimasi hukum yang disyari`atkan.

C. Sumber Tasyri` masa Rasulullah
Segala macam permasalahan yang dihadapi umat pada saat itu , semuanya merujuk pada fatwa Rasulullah. Dalam menyelesaikan permasalahan hukum, Nabi Muhammad senantiasa berpegang pada wahyu yang datang dari Allah, bukan mengikuti kehendak beliau. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur`an surat An-Najm ayat 3-4 yang artinya:
“ Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Para sahabat mengikuti dan mentaati keputusan yang diberiakn beliau, karena yakin bahwa yang diucapkan oleh Nabi adalah berdasarkan pada wahyu Allah, baik yang berupa Al-Qur`an Maupun As-Sunnah. Bagi para sahabat keduanya adalah merupakan pegangan yang paling benar dan rujukan untuk segala macam permasalahan.

1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT. yang merupakan Mu`jijat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan yang ditulis di Mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya menjadi ibadah. (Departemen Agama. Al-Qur`an dan Terjemahnya). Secara garis besar hukum yang terkandung dalam Al-Qur`an terbagi menjadi dua, pertama yang berkaitan dengan ibadah, dan kedua hukum yang berkaitan dengan mu`amalah. Hukum yang berkaitan dengan ibadah meliputi Shalat, Zakat, Puasa, Haji, dan Nadzar. Adapun hukum yang berkaitan dengan Mu`amalah, mencakup bebrapa hal, antara lain:
a. Hukum keluarga. Yaitu hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu lain dalam keluarga dan kekerabatan.
b. Hukum kebendaan. Yaitu hukum yang mengatur tukar-menukar harta.
c. Hukum Jimayah. Yaitu hukum yang mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh mukalaf.
d. Peradilan. Yaitu hukum yang mengatur syarat-syarat hakim, sanksi dan sumpah.
e. Hukum perundang-undangan. Yaitu hukum yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat.
f. Kenegaraan. Yaitu hukum yang mengatur hubungan antarnegara.
g. Hukum ekonomi. Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara kaya dan miskin dan antara individu dan kelompok. (//
www.almanhaj.com//abdul wahab.Sunday-07-12-2008).
2. As-Sunnah
As-Sunnah bisa diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan pada Nabi dengan kata Udhifa yang artinya disandakan baik itu yang berupa pekataan, perbuatan, ataupun ketetapan (takrir). Untuk membatasi dan menjaga keaslian sunnah dari berbagai hadits yang sebenarnya bukan dari Rasulullah, maka kata disandarkan menjadi hal yang harus ada dalam pengertian Sunnah, dan berarti segala sesuatu yang bukan disandarkan pada Nabi, maka itu tidak dimasukkan sebagai Sunnah. Banyak orang yang melegitimasi keinginan dan kepentingannya dengan cara membuat hadits palsu yang disandarkan pada Nabi.
Dari segi bentuknya, As-Sunnah dibagi menjadi menjadi tiga bagian:
a. Qauliyah. Yaitu sunnah yang berupa ucapan. Contoh, Nabi Pernah bersabda : “barang siapa diantara kamu hendak shalat Jum`at, maka hendaklah mandi”.
b. Fi`liyah. Yaitu sunnah yang berupa perbuatan. Contoh, pada suatu ketika Nabi pernah mencium istrinya dan kemudian keluar rumah dan melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi
c. Taqririyah. Yaitu sunnah yang berupa ketetapan Nabi. Artinya Nabi membenarkan dan memberikan ketetapan sebagai sunnah pada suatu perbuatan sahabat. Contoh, suatu ketika para sahabat Nabi menunggu datangnya waktu shalat Isa hingga mereka mengantuk, kemudian mereka shalat Isa dengan berwudhu terlebih dahulu, dan Nabi membenarkannya.

D. Ijtihad pada masa Rasulullah
Sebenarnya banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai Ijtihad pada masa Rasulullah. Benarkah Rasulullah menetapkan hukum berdasarkan Ijtihad ? Ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah, dilakukan ketika tidak adanya wahyu yang turun untuk menjelaskan suatu permasalahan hukum, maka Rasul menetapkannya sendiri, dan ketika wahyu turun, maka wahyu tersebut sebagai legitimasi atau pembenar terhadap apa yang menjadi hasil ijtihad Rasul. Dan sekalipun Rasul melakukan suatu kesalahan, maka Allah langsung menurunkan wahyu sebagai penegur dan sekaligus meluruskannya.
Ulama Asy`ariyah dan mayoritas Mu`tazilah berpendapat bahwa Rasul tidak melakukan ijtihad tanpa bimbingan wahyu. Sebagian ulama Syafi`i megatakan bahwa Rasul melakukan ijtihad hanya dalam berperang, bukan dalam bidang hukum. Dan menurut Al-Amidi dan Al-Khudlari, mengatakan bahwa Rasulullah beijtihad dalam masalah peperangan dan hukum-hukum syara` dengan bimbingan wahyu Allah. Karena bardasarkan surat An-Najm ayat 3 – 4 bahwa segala ucapan yang kelur dari Rasul itu adalah wahyu.
Selain ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah, juga ada yang disebut dengan ijtihad sahabat. Slalah satu contohnya yaitu, ketika suatu rombongan sahabat bekunjung ke Bani Quraizhah. Mereka mendapat pesan dari Nabi bahwa mereka jangan melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Namun sebelum sampai ke sana waktu Ashar sudah hampir habis. Ada sebahagian sahabat yang meneruskan pejalanannya dan shalat Ashar di sana (Bani Quraizhah) pada malam hari, karena mematuhi pesan Rasul. Dan ada juga sahabat yang melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Karena menurut mereka, maksud pesan Rasul adalah agar sahabat melakukan perjalanan secara cepat hingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu Ashar habis. Dan ketika berita itu sampai pada Rasulullah, beliau membenarkan kedua tindakan para sahabat itu. Maka dengan adanya legitimasi ini, bisa dijadikan bukti bahwa pada masa Rasul-pun telah terjadi ijtihad dikalangan sahabat.
Dan contoh lainnya adalah ketika Rasulullah bertanya pada Mu`ad bin Jabbal yang hendak pergi ke Yaman. Pada saat itu Nabi bertanya : “ Dengan apa anda memutuskan suatu perkara ?” Mu`ad menjawab “ Dengan kitab Allah” Nabi bertanya lagi “ Apabila tidak tidak menemukannya dalam kitab Allah?” jawabnya “ Dengan Sunnah Rasul-Nya” dan Nabi betanya kembali “ Jika tidak ditemukan juga ?” Ia menjawab “ saya akan berijtihda dengan pikiranku”.