Rabu, 14 Januari 2009

Pembentukan Hukum pada masa Rasulullah

PEMBENTUKAN HUKUM PADA MASA RAULULLAH SAW

A. Periode Mekah
Masa ini dimulai pada waktu pertama Islam datang, yaitu pada waktu pertamakali Sayyidina Muhammad diangkat menjadi Rasul oleh Allah dan turunnya wahyu. Periode ini berlangsung sekitar kurang lebih 12 tahun. Kehadiran Islam pada awal penyebarannya belum bisa diterima secara baik oleh masyarakat Mekah. Islam datang sebagai agama (hal) baru yang asing untuk diterima. Hal in dikarenakan keadaan masyarakat yang masih memegang tradisi dan ajaran yang ada pada saat itu sebagai warisan dari nenek moyang mereka yang mengajarkan animisme, dinamisme dan Polytheisme, sedangkan Islam adalah agama yang mengajarkan tentang Tauhid atau monotheisme yaitu beribadah hanya pada satu Tuhan.

B. Periode Madinah
Pada awalnya Nabi berorienatasi untuk memeperbaiki akidah masyarakat Mekah yang merupakan pondasi tempat berdirinya hal-hal lain. Hal ini bisa dilihat dari periode turunnya Al-Qur`an yang tebagi dua fase, Makky dan Madany. Pada periode Mekah isi kandung Al-Qur`an lebih menitikberatkan pada seruan untuk menjauhi kemusyrikan dan menyembah hanya pada Allah (Tuhan Yang Satu), memperkuat keyakinan Masyarakat Mekah terhadap kebenaran risalah Nabi, menganjurkan mereka membuang taklid terhadap ajaran nenek moyang mereka dan memalingkanya dari kebodohan yang datang dari leluhur mereka, seperti berzina, membunuh, mengubur anak wanita hidup-hidup. Begitu pula mengajarkan tatakrama dan akhlak Islam, seperti adil, tolong menolong dalam kebaikan. Dan mengingatkan mereka untuk tidak melakukan selisih dengan Nabi agar tidak ditimpa musibah seperti yang terjadi pada umat terdahulu yang mendustakan risalah Nabi dan menghianati perintah Tuhan. Pada masa ini Al-Qur`an hanya sedikit membebankan Syari`at, hingga kebanyakan ibadat belum terlalu disyari`atkan.
Namun pada awal periode inilah perkembangan hukum mulai mengalami kemajuan. Pada masa ini pula umat Islam tidak lagi seperti umat yang dulu disebut sebagai umat terbelakang dan Jahiliyah dan berperadaban rendah, umat Islam pada masa ini tidak lemah karena jumlahnya banyak dan berkualitas. Mereka juga mulai menjauhi segala bentuk kebiasaan yang dulu mereka biasa lakukan dan juga mulai menjauhi perselisihan dan permusuhan dalam rangka memperbaharui kehidupan dan peradaban mereka serta upaya untuk meyakinkan akan ke-Esa-an Allah. Selain itu mereka juga mulai membuat suatu aturan hidup bermasyarakat yang teratur dan berdasarkan tuntunan Rasulullah demi terciptanya kedamaian bermasyarakat dan terjauh dari peperangan.
Melihat keadaan demikia, Rasulullah mulai mensyari`atkan beberapa hukum, seperti, hukum perkawinan, Thalak, Waris, jual-beli, sewa, utang-piutang dan lainnya yang biasa dilakukan masyarakat pada masa itu.
Nabi, pada saat itu adalah sebagai pemegang kakuasaa langsung atau yang melegitimasi hukum yang disyari`atkan.

C. Sumber Tasyri` masa Rasulullah
Segala macam permasalahan yang dihadapi umat pada saat itu , semuanya merujuk pada fatwa Rasulullah. Dalam menyelesaikan permasalahan hukum, Nabi Muhammad senantiasa berpegang pada wahyu yang datang dari Allah, bukan mengikuti kehendak beliau. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur`an surat An-Najm ayat 3-4 yang artinya:
“ Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Para sahabat mengikuti dan mentaati keputusan yang diberiakn beliau, karena yakin bahwa yang diucapkan oleh Nabi adalah berdasarkan pada wahyu Allah, baik yang berupa Al-Qur`an Maupun As-Sunnah. Bagi para sahabat keduanya adalah merupakan pegangan yang paling benar dan rujukan untuk segala macam permasalahan.

1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT. yang merupakan Mu`jijat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan yang ditulis di Mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya menjadi ibadah. (Departemen Agama. Al-Qur`an dan Terjemahnya). Secara garis besar hukum yang terkandung dalam Al-Qur`an terbagi menjadi dua, pertama yang berkaitan dengan ibadah, dan kedua hukum yang berkaitan dengan mu`amalah. Hukum yang berkaitan dengan ibadah meliputi Shalat, Zakat, Puasa, Haji, dan Nadzar. Adapun hukum yang berkaitan dengan Mu`amalah, mencakup bebrapa hal, antara lain:
a. Hukum keluarga. Yaitu hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu lain dalam keluarga dan kekerabatan.
b. Hukum kebendaan. Yaitu hukum yang mengatur tukar-menukar harta.
c. Hukum Jimayah. Yaitu hukum yang mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh mukalaf.
d. Peradilan. Yaitu hukum yang mengatur syarat-syarat hakim, sanksi dan sumpah.
e. Hukum perundang-undangan. Yaitu hukum yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat.
f. Kenegaraan. Yaitu hukum yang mengatur hubungan antarnegara.
g. Hukum ekonomi. Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara kaya dan miskin dan antara individu dan kelompok. (//
www.almanhaj.com//abdul wahab.Sunday-07-12-2008).
2. As-Sunnah
As-Sunnah bisa diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan pada Nabi dengan kata Udhifa yang artinya disandakan baik itu yang berupa pekataan, perbuatan, ataupun ketetapan (takrir). Untuk membatasi dan menjaga keaslian sunnah dari berbagai hadits yang sebenarnya bukan dari Rasulullah, maka kata disandarkan menjadi hal yang harus ada dalam pengertian Sunnah, dan berarti segala sesuatu yang bukan disandarkan pada Nabi, maka itu tidak dimasukkan sebagai Sunnah. Banyak orang yang melegitimasi keinginan dan kepentingannya dengan cara membuat hadits palsu yang disandarkan pada Nabi.
Dari segi bentuknya, As-Sunnah dibagi menjadi menjadi tiga bagian:
a. Qauliyah. Yaitu sunnah yang berupa ucapan. Contoh, Nabi Pernah bersabda : “barang siapa diantara kamu hendak shalat Jum`at, maka hendaklah mandi”.
b. Fi`liyah. Yaitu sunnah yang berupa perbuatan. Contoh, pada suatu ketika Nabi pernah mencium istrinya dan kemudian keluar rumah dan melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi
c. Taqririyah. Yaitu sunnah yang berupa ketetapan Nabi. Artinya Nabi membenarkan dan memberikan ketetapan sebagai sunnah pada suatu perbuatan sahabat. Contoh, suatu ketika para sahabat Nabi menunggu datangnya waktu shalat Isa hingga mereka mengantuk, kemudian mereka shalat Isa dengan berwudhu terlebih dahulu, dan Nabi membenarkannya.

D. Ijtihad pada masa Rasulullah
Sebenarnya banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai Ijtihad pada masa Rasulullah. Benarkah Rasulullah menetapkan hukum berdasarkan Ijtihad ? Ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah, dilakukan ketika tidak adanya wahyu yang turun untuk menjelaskan suatu permasalahan hukum, maka Rasul menetapkannya sendiri, dan ketika wahyu turun, maka wahyu tersebut sebagai legitimasi atau pembenar terhadap apa yang menjadi hasil ijtihad Rasul. Dan sekalipun Rasul melakukan suatu kesalahan, maka Allah langsung menurunkan wahyu sebagai penegur dan sekaligus meluruskannya.
Ulama Asy`ariyah dan mayoritas Mu`tazilah berpendapat bahwa Rasul tidak melakukan ijtihad tanpa bimbingan wahyu. Sebagian ulama Syafi`i megatakan bahwa Rasul melakukan ijtihad hanya dalam berperang, bukan dalam bidang hukum. Dan menurut Al-Amidi dan Al-Khudlari, mengatakan bahwa Rasulullah beijtihad dalam masalah peperangan dan hukum-hukum syara` dengan bimbingan wahyu Allah. Karena bardasarkan surat An-Najm ayat 3 – 4 bahwa segala ucapan yang kelur dari Rasul itu adalah wahyu.
Selain ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah, juga ada yang disebut dengan ijtihad sahabat. Slalah satu contohnya yaitu, ketika suatu rombongan sahabat bekunjung ke Bani Quraizhah. Mereka mendapat pesan dari Nabi bahwa mereka jangan melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Namun sebelum sampai ke sana waktu Ashar sudah hampir habis. Ada sebahagian sahabat yang meneruskan pejalanannya dan shalat Ashar di sana (Bani Quraizhah) pada malam hari, karena mematuhi pesan Rasul. Dan ada juga sahabat yang melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Karena menurut mereka, maksud pesan Rasul adalah agar sahabat melakukan perjalanan secara cepat hingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu Ashar habis. Dan ketika berita itu sampai pada Rasulullah, beliau membenarkan kedua tindakan para sahabat itu. Maka dengan adanya legitimasi ini, bisa dijadikan bukti bahwa pada masa Rasul-pun telah terjadi ijtihad dikalangan sahabat.
Dan contoh lainnya adalah ketika Rasulullah bertanya pada Mu`ad bin Jabbal yang hendak pergi ke Yaman. Pada saat itu Nabi bertanya : “ Dengan apa anda memutuskan suatu perkara ?” Mu`ad menjawab “ Dengan kitab Allah” Nabi bertanya lagi “ Apabila tidak tidak menemukannya dalam kitab Allah?” jawabnya “ Dengan Sunnah Rasul-Nya” dan Nabi betanya kembali “ Jika tidak ditemukan juga ?” Ia menjawab “ saya akan berijtihda dengan pikiranku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar dan saran anda pada saya... !