Jumat, 13 Maret 2009

MEMBEDAH KESALAHAN MENDASAR DARI FILSAFAT BARAT



I. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU 

A. Pengertian Filsafat Istilah 
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yang tersusun dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran atau hikmah. Dengan demikian, philoshopia mengandung arti cinta kebenaran atau cinta akan hikmah. Istilah yang sama dengan filsafat adalah falsafah yang berasal dari bahasa Arab, kedua istilah ini sekalipun penyebutannya berbeda tetapi memiliki arti dan sumber yang sama. Orang yang ahli dalam bidang filsafat disebut filsuf atau filosof. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah failasuf, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosoper. Dalam tinjauan terminologis, pengertian filsafat dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain: 
1. Plato (427 - 347 sebelum masehi), seorang filsuf Yunani yang memiliki murid bernama Aristoteles dan berguru pada Socrates, berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada.  

2. Immanuel Kant (1724 – 1804 M), seorang filsuf yang dikenal sebagai raksasa berpikir barat, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:  
(1) Metafisika, yang membahas mengenai apakah yang dapat diketahui, 
(2) Etika, yang membahas apa yang boleh dikerjakan, 
(3) Agama, yang membahas sampai di mana pengharapan manusia, dan 
(4) Anthropologi, yang membahas apa dan siapa manusia itu sesungguhnya. 

3. Al Farabi (wafat 950 M), filsuf muslim besar sebelum Ibnu Sina mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang sesuatu yang maujud (mengada) sebagaimana ia secara hakiki sebagai wujud. 

4. Harold H.Titus, seorang filsuf mutakhir, berpendapat bahwa filsafat ialah usaha mencari suatu konsep rasional tentang alam semesta serta kedududkan manusia di dalamnya. 

B. Pengertian Ilmu Pengetahuan 

Dalam banyak hal, untuk menyatakan bentuk pengetahuan yang disebut ilmu, dalam bahasa Indonesia digunakan istilah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai sebuah nama, sebenarnya terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti saling berkaitan, yaitu ilmu dan pengetahuan. Karena itu kedua kata tersebut sering kita dapati digunakan secara sendiri-sendiri dan pula terkadang kita dapati secara bergandengan.  Dalam bahasa Inggris, digunakan kata science sebagai padanan kata ilmu dan knowledge sebagai padanan kata pengetahuan. Adapun kata ilmu pengetahuan, tidak kita temukan padanannya. Yang ada ialah scientif knowledge. Tapi bila scientif knowledge diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia menjadi Pengetahuan Ilmiah, bukan ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Arab, terdapat kata 'ilmun ( علم ) yang bermakna ilmu dan 'ilmiyah ( علمية ) yang bermakna ilmiah atau memiliki sifat-sifat sebagai ilmu. Dari gambaran tersebut di atas dapat kita lihat beberapa kata ilmu dan ilmiah dalam bahasa Indonesia secara konsonan lebih dekat pada bahasa Arab, seperti halnya kursi (Indonesia) dari kata kursiyyun. Yang dimaksudkan dengan istilah ilmu pengetahuan dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah scientific knowledge (pengetahuan ilmiah) itu. Bila dengan kata ilmu yang kita maksudkan adalah science, maka itu berarti sekaligus sama juga dengan scientific knowledge. Atau secara lebih jelas ditulis: ilmu = science = scientific knowledge = pengetahuan ilmiah. 
Dengan demikian, seharusnya tidak ada istilah ilmu pengetahuan dalam bahasa Indonesia, sebab itu telah diwakili pengertiannya oleh kata ilmu. Demikian seterusnya, istilah ilmu pengetahuan dan teknologi yang diakronimkan sebagai iptek seharusnya menjadi ilmu dan teknologi yang akronimnya adalah iltek. Iltek dapat pula ditulis dalam akronim piltek, yaitu pengetahuan ilmiah dan teknologi. Sebenarnya, istilah ilmu pengetahuan bagi pengetahuan ilmiah dalam bahasa Indonesia, dilatarbelakangi oleh batasan penggunaan kata science (ilmu) dalam khazanah science modern sebagai ilmu-ilmu kealaman belaka. Alasannya, karena ilmu-ilmu tersebut benar-benar diperoleh melalui proses keilmiahan yang kebenarannya dapat dibuktikan atau diversifikasi secara obyektif empiris. Karena itulah, dengan memandang bahwa ilmu pengetahuan ilmiah bukan hanya sekadar ilmu-ilmu kealaman tapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam khazanah bahasa indonesia digunakan istilah ilmu pengetahuan. Karena istilah ilmu pengetahuan telah menjadi sebuah istilah dalam kebudayaan kita, maka ia bisa tetap dipakai dalam pengertian bahwa yang dimaksud olehnya adalah pengetahuan ilmiah, sehingga dengan demikian dapat ditulis : ilmu pengetahuan = pengetahuan ilmiah = ilmu = science = scientific knowledge, dengan catatan bahwa kata ilmu atau science tidak hanya dipahami secara sempit sebagai ilmu-ilmu kealaman saja. 

C. Pengertian Filsafat 
Ilmu Filsafat Ilmu sebenarnya adalah ilmu mengenai ilmu (science for sciences). Filsafat ilmu berkenaan dengan penyelidikan tentang ciri-ciri suatu pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah, karena itu bisa diberi predikat sebagai ilmu. Tercakup di dalamnya penyelidikan terhadap cara-cara untuk memperoleh ilmu itu. Dalam filsafat ilmu akan dipertanyakan kembali secara dejure, landasan serta asas-asas yang memungkinkan suatu pembenaran terhadap ilmu dan apa yang dianggap benar oleh ilmu. Selanjutnya, filsafat ilmu dibedakan lagi menurut tendensinya, yaitu; 
(1) filsafat ilmu dalam arti luas, dan 
(2) filsafat ilmu dalam arti sempit. Filsafat ilmu dalam arti luas, disebut juga filsafat yang bertendensi metafisik, yakni membicarakan permasalahan yang menyangkut hubungan ilmu ke luar, seperti implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah (bagaimana imu memandang obyeknya sebagai obyek pengetahuan ilmiah), nilai-nilai yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu serta konsekwensi etis penyelenggaraan dan penggunaan ilmu. Dengan tendensi ini, filsafat ilmu menyelidiki dasar-dasar ilmu. Misalnya apabila ilmu ukur menggunakan kata ruang, maka apakah ruang itu sesungguhnya? Apakah ia sungguh ada sebagai ruang mutlak, atau hanya merupakan skematisasi yang dipaksakan pada gejala-gejala yang diamati manusia. Demikian halnya dengan pertanyaan yang lain, seperti bagaimana peranan hukum sebab akibat dalam realitas alam? Apakah gejala sejarah dapat ditampilkan dalam suatu ilmu dengan alasan-alasan obyektif, dan sebagainya. Sedangkan filsafat ilmu dalam arti sempit bertendensi metodologik, yaitu membicarakan permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat dalam proses ilmu itu sendiri. Misalnya, bagaimana sifat ilmu sebagai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Pada pembicaraan filsafat ilmu dalam arti ini dipertanyakan segala hal yang berkenaan dengan konstruksi argumen yang sahih, misalnya: apakah verifikasi atau falsifikasi? peran apa yang dibuat oleh sebuah hipotesis, terdapatkah penalaran induktif di samping penalaran deduktif. Sementara itu ahli lain tidak melihat pembicaraan filsafat ilmu bedasarkan klasifikasi kecondongan, tetapi secara umum sebagai suatu kesatuan konseptual yang membicarakan tiga problem, yaitu: 

(1). Problema Asal Pengetahuan (Origin of knowledge), 
(2). Problema penampilan (appearance) realitas. Dan, 
(3). Problema Pengujian (verivication) Kebenaran. Jujun S. Suriasumantri melihat lain, bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafati yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu dalam tiga landasan filosofis, yaitu: 

1. Landasan Ontologis, dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar: obyek apa yang ditelaah ilmu? bagaimana wujud hakiki obyek tersebut? bagaimana hubungan obyek itu dengan daya tangkap manusia? 
2.Landasan epistemologis, dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar: bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? bagaimana prosedurnya? hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? 
3.Landasan Aksiologis, dengan pertanyaan mendasar: untuk apa ilmu digunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?  


II. KESALAHAN FILSAFAT BARAT 

A. Karakteristik Filsafat Barat 
Filsafat Barat mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Roma. Karena itu Barat tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan. Demikian yang diungkapkan oleh C. A. Qadir, seorang filsuf muslim kontemporer dalam bukunya, Philosophy and Science in the Islamic Word. Pengetahuan Barat lahir dari spekulasi-spekulasi metafisis para pemikir yang menganut yang menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan psikoanalitik tentang kodrat manusia, yang kemudianmenghasilkan desakralisasi pengetahuan. Melalui pandangan yang melalui desakralisasi itulah kemudian, Barat benar-benar memotong pengetahuan dari akarnya sehingga kehilangan wawasan tentang yang sakral. Akibat dari kecendrungan ini, yang pertama-tama mendapat pengaruh ialah pemikiran itu sendiri. Filsafat pada akhirnya hanya dipandang sebagai produk rasio semata-mata. Yang lebih lanjut timbul dari padanya ialah pandangan yang mekanistik mengenai realitas serta pandangan dunia yang tidak memberi tempat bagi nilai-nilai kerohanian. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Barat memandang bahwa filsafat adalah segala upaya (berfikir filsafati) untuk menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau akal belaka, mereka kemudian memperjelas pengertiannya dengan mengatakan bahwa kebenaran tersebut dicapai bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama, sebab jawaban berdasarkan wahyu atau ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran atau akal belaka. Karena itu mereka membedakan antara kebenaran filasafat dengan kebenaran wahyu atau agama. Cara pandang yang seperti inilah yang disebut sekularistik. Pola fikir sekularistik inilah yang merupakan akar kesalahan konsep filsafat yang dibangun oleh Barat. Implikasi dari akar kesalahan ini, akan kelihatan secara jelas dalam pembahasan berikut ini. B. Pandangan Filsafat Barat Tentang Sumber Ilmu Pembicaraan tentang sumber ilmu merupakan permasalahan yang sangat mendasar dalam filsafat ilmu, karena dari padanyalah berpijak landasan-landasan filosofis (filsafat) ilmu.  Menurut filsafat science modern, yang dikenal juga dengan filsafat Barat (baca: filsafat sekularistik), ada empat sumber ilmu, yaitu: 

1. Orang yang Memiliki Otoritas yaitu mereka yang karena otoritasnya, tepat dan relevan dijadikan sebagai sumber pengetahuan tentang suatu hal. Otoritas tersebut didasarkan pada kesaksian yang bisa diberikannya. Di zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah. Termasuk juga dalam hal ini, misalnya, hasil publikasi resmi mengenai kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi pengetahuanlainnya. Namun, penempatan otoritas sebagai sumber pengetahuan tidaklah dilakukan dengan penyandaran pendapat sepenuhnya, dalam arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa menilai kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, otoritas hanya ditempatkan sebagai sumber kedua, yang berkedudukan sebagai sumber eksternal, sedangkan sumber-sumber internal pada diri sendiri tetap sebagai sumber pertama. 

2. Indra (empiris) Indra adalah peralatan pada diri manusia sebagai salah satu sumber internal pengetahuan. Untuk memahami posisi indra sebagai sumber pengetahuan biasanya diajukan pertanyaan misalnya, bagaimana mengetahui bahwa besi memuai bila dipanaskan ? atau air membeku bila didinginkan hingga mencapai derajat kedinginan tertentu ? Terhadap pengetahuan semacam itu, filsafat science moderen berpandangan bahwa indra lah yang menjadi sumbernya. Bahkan pandangan empirisme yang diterapkan dalam filafat science moderen menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah dan hanyalah pengalaman-pengalaman konkrit kita yang terbentuk karena persepsi indra, seperti persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencicipan dengan lidah. Namun dalam menempatkan indra sebagai sumber penegetahuan, filsafat ilmu sekuler juga menekankan pentingnya kehati-hatian, utamanya terhadap kemungkinan pengaruh prasangka dan emosi yang akan merusak obyektifitas. 

3. Akal (logis) Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu yang bisa dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya dengan indera terlebih dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan, misalnya, dari anggapan dua entitas yang masing-masing sama besarnya dengan entitas ketiga adalah entitas sama besar. Pengetahuan semacam itu jelas dengan sendirinya (tanpa persepsi indra) karena ada akal yang memungkinkannya. Demikian argumentasi yang dibangun para filsuf ilmu sekuler untuk melandasi pemikiran mereka mengenai akal sebagai sumber pengetahuan. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka filsafat ilmu sekuler menempatkan akal adalah salah-satu sumber pengetahuan yang mungkin untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Pandangan ini merupakan representasi dari pandangan filsafat Rasionalisme, yang dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa manusia memiliki potensi mengetahui dengan pasti dengan sendirinya, tentang beberapa hal yang relevan. Misalnya, kenyataan-kenyataan : keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya; satu adalah separuh dari dua; keliling lingkaran lebih besar dari garis tengahnya; adalah pengetahuan yang dapat diketahui dengan pasti dan dengan sendirinya karena potensi akal. 

4. Intuisi (kontemplasi) George Santayana (dalam Titus et al, 1984) memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang langsung dirasakan. Misalnya sewaktu kita mendengar bunyi, maka selain kita mendengar, kita juga sadar tentang pendengaran kita dan sadar tentang diri kita sebagai yang mendengar. Jadi menurut Titus, Smith dan Nolan (1984) intuisi terdapat dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam aksioma matematika. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentang hubungan antara kata-kata (preposition) yang membentuk bermacam-macam langkah dari argumen. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita terhadap keindahan ukuran moral yang kita terima dari nilai-nilai agama. Kesimpulannya adalah, bahwa ilmu bersumber dari aktifitas optimal yang dilakukan oleh manusia, dengan belajar, memaksimalkan indra, akal, atau ilmu itu datang secara tiba-tiba, dengan kata lain sumber ilmu menurut Barat adalah manusia dan alam. 

C. Kesalahan Pandangan Filsafat Barat 
Tentang Sumber Ilmu Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang sumber ilmu menurut filsafat Barat, maka yang terlebih dahulu perlu didefinisikan adalah, makna Sumber. Logika sehat kita pasti mengatakan, bahwa yang disebut sumber adalah yang tidak pernah tidak memiliki sesuatu. Ketika kita menimba air di sumur, maka timba tidak bisa dikatakan sebagai sumber air, sumber air itu sendiri adalah sumurnya, sedangkan timba yang kita gunakan hanyalah merupakan alat. Filsafat Barat berkesimpulan bahwa sumber ilmu adalah dari manusia dan alam. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah manusia dan alam menciptakan dirinya sendiri? Apakah manusia dan alam lahir/tercipta dalam keadaan sudah memiliki ilmu. Logika sehat akan menjawab, manusia dan alam tidak tercipta dengan sendirinya (ada yang menciptakan), kalau begitu manusia dan alam pernah tidak memiliki sesuatu kemudian berusaha untuk memiliki, dalam hal ini ilmu. kalau demikian faktanya maka tidaklah benar (baca: kesalahan) yang sangat fatal jika kita mengatakan manusia dan alam adalah sumber ilmu. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dari teori filsafat Barat yang memisahkan aktifitas berfikir dengan wahyu.  

III. FILSAFAT ISLAMI SATU-SATUNYA ALTERNATIF 

A.Filsafat Islami  
Karena Islam dapat memberikan semua yang didefinisikan oleh para filsafat misalnya yang dikatakan oleh Leighton, yaitu pandangan dunia, konsep rasional tentang keseluruhan kosmos, pandangan hidup, doktrin nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup, maka sebenarnya pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan tersebut dapat dijawab dengan cara berpikir filsafat yang berakar pada ajaran Islam. Memberi jawaban dengan mendasarkan fikiran pada ajaran islam, tidaklah berarti memberi jawaban menurut agama belaka dalam arti bukan filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh para filsuf barat. Yang dimaksud berfikir filsafat berdasar ajaran Islam di sini, tetap merupakan kegiatan berpikir. Yaitu berpikir Islami dengan cara berfikir filsafat. Yaitu berfikir filsafati berdasarkan pandangan dunia yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati menurut pandangan hidup menurut ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati menurut konsep rasional tentang kesatuan kosmos yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati menurut konsep rasional tentang kesatuan kosmos yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati dengan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam. Pertanyaan yang dimunculkan dan jawaban yang diberikan di dalamnya, tetap merupakan perwujudan segala ihwal pemikiran, tapi pemikiran yang didasarkan pada ajaran agama Islam, baik dalam kerja fikirnya maupun isi pemikirannya. Karena itu, ia tetap merupakan kegiatan berfikir, yaitu berfikir filsafat dengan mengacukan fikiran pada dan di atas landasan ajaran Islam. Secara singkat ia diistilahkan berfikir filsafat secara Islami. Pemikiran yang dihasilkannya diberi nama Filsafat Islami. Memang berfikir itu sendiri oleh Islam dipandang sebagai suatu yang fitrah (kodrati) pada manusia. Karena itu ajaran Islam dipresentasikan dalam Al Quran dan Hadis Nabi, berulang-ulang memerintahkan (baca : memberi stimulus) agar manusia berfikir, serta memberi landasan petunjuk agar manusia bisa : 
(1) melahirkan pandangan filsafati mengenai berfikir, 
(2) merumuskan kaidah-kaidah berfikir logis secara formal, 
(3) memformulasi materi pemikiran filsafati dan materi pengetahuan ilmiah, dan 
(4) memformulasi model pengujian kebenaran pemikiran. Jadi jika berfikir filsafati yang dimaksudkan adalah berfikir dengan semata-mata menggunakan akal, dan bukannya dengan berdasarkan agama, sebenarnya polarisasi yang terjadi bukan antara filsafat dengan agama, tetapi antara berfikir filsafat yang tidak berpijak pada ajaran agama dengan berfikir filsafat dengan berpijak pada ajaran agama. Demikian halnya mengenai kebenaran, polarisasi yang terjadi bukan kebenaran akal dan kebenaran agama atau kebenaran wahyu, tetapi antara kebenaran akal tanpa dasar wahyu dan kebenaran akal dengan dasar wahyu. Yang paling penting dari cara berfikir filsafati secara Islami itu ialah karena ia ingin meletakkan pemikiran dan cara berfikir itu sendiri tidak terlepas dari akarnya. Sistim nilai, pandangan dunia, konsep tentang kosmos, pandangan tentang tujuan dan makna hidup yang diangkat dari pandangan Islam dengan basis wahyu, dengan sendirinya akan memberi makna pada filsafat dan berfilsafat yang akan tetap menempatkan manusia dalam kedudukannya yang seharusnya, tanpa melepaskan dirinya dari hubungan terhadap Tuhan dalam alam kehidupannya. 

B. Filsafat Ilmu Islami  
Yang dimaksud dengan filsafat ilmu Islami di sini ialah pembahasan mengenai masalah ilmu secara filsafati berdasarkan pandangan yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam, dengan sumber utama Al Quran dan Hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dengan penyajian bahasan filsafat ilmu yang demikian, akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain : 
1.memperkaya pandangan mengenai ilmu secara filsafati baik bagi kalangan mahasiswa, sarjana dan kalangan ilmuan muslim lainnya, maupun kalangan ilmuan non muslim. Bahwa dalam hal filsafat ilmu, juga terdapat satu filsafat khas yang berwatak Islami. 

2.memberikan bahan pemikiran kritis bagi ilmuan muslim untuk melakukan koreksi atau bandingan terhadap jalan dan cara yang telah ditempuhnya selama ini dalam membentuk pemikirannya mengenai segala hal yang berkenaan dengan ilmu, yang selama ini secara formal hanya dibentuk oleh dasar pemikiran non-Islami. 

3.dimilikinya suatu konsep keilmuan secara filsafati, yang tidak menempatkan ilmu dan agama sebagai dua hal yang masing-masing berdiri berdampingan secara komplementer atau berhadap-hadapan secara kontradiktif. Juga dengan itu, menyodorkan suatu bentuk filsafat ilmu yang tidak memisahkan antara dimensi keduniaan dan dimensi keakhiratan sebagaimana paham sekularisme yang mendasari filsafat ilmu sekuler. Salah satu ayat Al Quran yang dapat dijadikan dasar perumusan pandangan mengenai filsafat ilmu yang Islami, yaitu ayat 190-191 Surah Ali Imran sebagai berikut : 

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka

Dari ayat tersebut diperoleh gambaran tentang orang yang disebut sebagai ulul albaab, yang ciri-cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut: 

1.memiliki pandangan bahwa seluruh realitas yang ditunjukkan oleh fenomena alam semesta adalah tanda-tanda adanya Allah dengan segala kemahaan dalam sifat-sifatNya (seperti Maha Kuasa, Maha Berilmu, dsb), yang menciptakan alam semesta itu. 

2.berfikir dalam keadaan senantiasa sadar (zikir) akan Allah. Dengan filosofi berfikir yang demikian itu ia memikirkan segala kejadian di alam semesta, sehingga : 

(1) kesadaran keTuhanannya senantiasa terawat (ditunjukkan oleh cetusan kata rabbana), dan 
(2) menemukan kejelasan makna (ilmu) tentang ketidak-sia-siaan ciptaan Allah.  

3.menjadikan pengetahuannya beresensi sebagai doa, dalam bentuk penggunaan pengetahuan tersebut sebagai alat untuk melaksanakan berbagai kegiatan duniawi yang mencegah dirinya menemui adzab neraka, yang pada pengertian hakikinya merupakan perwujudan ibadah kepada Allah. Dari gambaran mengenai cara pandang ulul albaab tersebut di atas, kita bisa menemukan konsep Filsafat Ilmu Islami yang berbicara pada tiga dataran mendasar sebagai berikut : 

1.Konsep ontologi ilmu, yang memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (Pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk. Segala atribut yang bisa secara benar dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena kemakhlukannya. 

2.Konsep Epistemologi Ilmu, yang menempatkan pemikiran (fikir) yang bersenyawa dengan kesadaran akan Allah (zikir) sebagai suatu cara untuk mencapai ilmu yang tetap lekat dengan kesadaran ke Tuhan an. 

3.Konsep Aksiologi Ilmu, yang mengarahkan proses ilmiah dan pemanfaatan ilmu tetap berpegang pada nilai-nilai keilmiahan yang tidak terpisahkan dengan nilai-nilai moralitas, sehingga ilmu digunakan sebagai alat dan sarana untuk mewujudkan kegiatan kehidupan dunia yang tidak berkonsekwensi pada azab neraka. Secara umum dan singkat, kegiatan ilmu yang demikian itu menempatkan ilmu sebagai alat dan sarana untuk ibadah kepada Allah. 

C. Konsep yang Benar terhadap Sumber Ilmu  

Telah dikemukakan di atas beberapa pandangan filosofis mengenai sumber ilmu menurut filsafat Barat, demikian pula telah dibedah dimana letak kesalahan mendasar dari pandangan-pandangan itu. Karena itu di sini akan ditunjukkan dan diuraikan konsep yang benar terhadap sumber ilmu itu.  Ada beberapa ayat Al Quran yang akan kita jadikan landasan dalam membangun pemikiran filsafati mengenai sumber ilmu yang hakiki. Yaitu: 
Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu". 

Artinya : Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 

Artinya : Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. 

Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. 

Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. 

Artinya : Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. 

Artinya : (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu. 

Artinya : Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. 

Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. 

Dari ayat-ayat Al Quran tersebut di atas dapat diturunkan beberapa makna mendasar yang daripadanya bisa dirumuskan pandangan filosofis mengenai sumber ilmu. Makna-makna mendasar tersebut ialah : 

1.Bahwa manusia tidak membawa pengetahuan sejak awal diciptakan / dilahirkan (An Nahl 78), karena itu tidak mungkin menempati posisi sebagai sumber ilmu.  

2.Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu (Thaha 98, At Thalaq 12), yang ilmuNya meliputi yang gaib maupun yang nyata (Al Hasyr 22). 

3.Pada hakikatnya hanya Allah Yang Maha Mengetahui dan manusia pada hakikatnya tidak mengetahui (An Nahl 74). 

4.Manusia dikaruniai Tuhan "peralatan", "jalan" dan petunjuk yang secara potensial memungkinkan ia memperoleh ilmu (An Nahl 74, Ar Rahman 1-4, An Nahl 89, Ali Imran 118, Al Anbiya' 7, Thaha 98, Al Hasyr 22). 

5.Perolehan ilmu oleh manusia adalah perolehan dengan perantaraan (knowledge by…), yakni segala perantara (bil) yang meniscayakan (qalam) ilmu itu diridhai oleh Allah untuk diperolehnya, sebagai perwujudan Allah mengajarkan ('allama) kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya (ma lam ya'lam). 

6.Segala ilmu yang diusahakan oleh manusia untuk diperolehnya, pada hakikatnya tercakup dan merupakan ilmu Allah. Dari makna-makna mendasar di atas, maka Filsafat Ilmu Islami berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan ialah Allah Subhanahu Wata'ala. Dengan pandangan filsafati bahwa hanya Allah sumber ilmu, tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki keniscayaan memiliki ilmu. Sebagai sumber ilmu – yang menyatakan diriNya mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya – Dia telah melengkapi manusia segala peralatan dan jalan yang meniscayakan manusia mengusahakan peroleh ilmu (Al 'Alaq 3-5). Yang meniscayakan manusia memperoleh ialah peralatan indrawi lahirian yang diwakili penyebutannya oleh as sam'a (kemampuan mendengar), al abshar (kemampuan melihat, berpandangan), serta indra batiniah (al af'idah) dan kemampuan berakal (An Nahl 74 dan Ali Imran 118). Peralatan diri (qalam internal) yang meniscayakan ilmu tersebut berada pada diri manusia sebagai peralatan dengan potensialitas internal untuk berilmu. Kemudian diantara manusia ada yang dapat menjadi "jalan" lebih lanjut bagi manusia lain untuk memperoleh ilmu. Mereka itu adalah disebut ahl al zikr (Al Anbiya 7). Ahl al zikr ini adalah mereka yang diberi otoritas oleh Allah sebagai jalan bagi manusia lain untuk memperoleh bagian kecil tertentu dari ilmuNya. Kenyataan bahwa pengetahuan tentang sumber itu sendiri adalah salah-satu bentuk pengetahuan tersendiri yang diperoleh melalui petunjuk Allah dalam Al Quran semakin menjelaskan bahwa Allah adalah Sumber Ilmu. Demikian pula, sebagai sumber, Dia mengajarkan manusia tentang apa saja yang dikaruniakanNya yang meniscayakan pengetahuan itu diperoleh. Dia (Allah) juga menjelaskan bahwa salah satu yang utama meniscayakan diperolehnya ilmu itu (baca : Allah mengajarkan pada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya) ialah petunjuk Al Quran. Dalam hal ini, Al Quran adalah referensi utama bagi manusia untuk memperoleh ilmu. Bahkan dalam arti ini, untuk menyatakan Allah sebagai sumber ilmu, adakalanya digunakan istilah Al Quran sebagai sumber ilmu. Wallahu Ta'ala 'Alam  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar dan saran anda pada saya... !