Peringatan Para Ulama Tentang Bahaya Filsafat
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah. Kami memujinya, memohon pertolongan-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan kejelekan amal-amal kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tak akan ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, yang tak ada sekutu baginya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du. Sesungguhnya perkara yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wa Sallam. Seburuk- buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, sedangkan bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah neraka.
Menyadari betapa besar kerusakan yang ditimbulkan filsafat terhadap pemahaman kaum muslimin terhadap agamanya, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dulu dan sekarang tiada henti-hentinya memperingatkan umat Islam dari bahaya filsafat. Ilmu filsafat dikembangkan dalam bentuk-bentuk baru seperti ilmu kalam, ilmu mantiq, ilmu falaq, dan lain lain. Ini adalah dalam rangka mengelabui umat Islam dari pertentangan filsafat dengan islam sehingga menyeret umat Islam keluar dari agamanya tanpa terasa.
Dalam hal ini Al-Hafidh Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al-Baghdadi rahimahullah (meninggal tahun 597 Hijriah),beliau menerangkan dalam kitab karyanya berjudul Talbis Iblis (Perangkap Iblis) halaman 82 (cet. Matba’ah An-Nahdlah, tahun 1928 M): “Sesungguhnya iblis apabila telah berhasil menyesatkan orang-orang bodoh dengan menjerumuskan mereka ke dalam sikap taqlid (yakni mengikuti tanpa mengerti, pent) dan menggiring mereka seperti menggiring binatang ternak. Iblis pun kemudian melirik golongan lain dari Bani Adam yang mereka ini mempunyai kecerdasan dan kepandaian. Maka mereka pun disesatkan sesuai dengan kadar kemampuannya menguasai mereka. Maka sebagian dari mereka digiring; kepada kesan betapa jeleknya kejumudan dalam bertaqlid dan dianjurkan setelah itu untuk memahami agama dengan akal pikirannya sendiri dan kemudian setiap dari mereka disesatkan dengan berbagai cara. Sebagian mereka disesatkan dengan satu kesan, bahwa terpaku dengan pengertian dhahir syariat adalah kelemahan, sehingga mereka digiring kepada salah satu dari madzhab-madzhab filsafat. Dan terus mereka berkembang dalam madzhab filsafat itu dalam memahami makna batin syariah, sehingga filsafat itu mengeluarkan mereka dari Islam.
Selanjutnya Ibnul Jauzi menegaskan: “Dari mereka ini ada pula yang disesatkan oleh Iblis dengan digiring kepada kesan baiknya prinsip tidak mempercayai adanya sesuatu kecuali kalau sesuatu itu bisa dirasakan keberadaannya oleh panca indera Dikatakan kepada mereka: Dengan panca indera, kalian bisa mengetahui bukti kebenaran omongan kalian.” Kemudian beliau menambahkan: “Dan sebagian mereka (orang-orang yang cerdas dan pandai) itu ada yang ditanamkan rasa benci oleh iblis terhadap taqlid dan sebagai gantinya ditanamkan semangat mendalami ilmu kalam dan meneladani sepak tejang kaum filosof, agar dengan cara demikian mereka bisa keluar dari lingkup orang awam. Demikianlah anggapan mereka. Padahal sesungguhnya beraneka ragam kesesatan para ahli ilmu kalam yang dengan ilmu kalam itu telah menjerumuskan mayoritas mereka kepada berbagai keraguan dan bahkan sebagian mereka telah tejerumus kepada atheisme. Dan para ulama ahli fikih terdahulu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka diam, tidak man bicara tentang ilmu kalam, bukannya karena mereka tidak mampu untuk berbicara tentang hal tersebut, tetapi karena semata-mata karena mereka melihat bahwa ilmu kalam ini tidak akan menghilangkan dahaga orang yang haus dan kemudian orang yang sehat dengan ilmu ini tidak bisa menolak penyakit. Oleh karena itu mereka para ulama menahan diri untuk berbicara tentang ilmu ini dan mereka melarang umat untuk mendalami ilmu ini.
Sehingga Al-Imam Syafi’i mengatakan: “Sungguh seandainya seorang hamba Allah terjatuh pada segenap apa yang dilarang oleh Allah selain syirik, lebih baik baginya daripada mempelajari ilmu kalam.” Beliau (Imam Syafi’i) menyatakan pula: “Apabila engkau mendengar ada seseorang memperdebatkan tentang apakah nama Allah itu menunjukkan sifatnya atau tidak menunjukkannya, maka persaksikaniah bahwa orang yang berbicara demikian ini adalah ahli ilmu kalam, dan orang demikian ini tidak ada agamanya.” Juga beliau menyatakan: “Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka: Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.”
Berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal: “Tidak akan selamat selamanya orang yang berpegang dengan ilmu kalam. Ulama ilmu kalam itu adalah’para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan keimanan).” Demikianlah Ibnul Jauzi membawakan keterangan dan menukil perkataan ulama Ahlus sunnah tentang kedudukan ilmu kalam dan jahatnya ulama ilmu kalam. Padahal ilmu kalam hanyalah sebagian dari ilmu-ilmu filsafat.
Penutup
Demikianlah serunya pergolakan antara filsafat dengan Islam dan pergolakan ini terus berlangsung sampai hari ini, bahkan sampai hari kiamat. Ketika orang bersemangat dengan ilmu Al-Qur’an dan A1-Hadits maka filsafat akan terabaikan. Sebaliknya bila orang mulai mengabaikan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka mereka pun berkecenderungan kuat terhadap filsafat. Oleh karena itu untuk mengantisipasi berbagai kerusakan filsafat, umat Islam harus dibangkitkan semangat mereka mencintai dan mempelajari Ilmu Al-Qur’an dan AlHadits agar mereka mengerti Al-Haq dan Al-Batil dari berbagai sumber yang haq dan pasti. Dengan begitu mereka dapat menolak kebingungan dan kerancuan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar dan saran anda pada saya... !